Minggu, 09 Januari 2022

WATUPAYUNG: Wisata Budaya Desa (Kecamatan Kesesi - Kabupaten Pekalongan)

  • Januari 09, 2022
  • Penerbit NEM




Kelak di kemudian hari, yaitu pada tanggal 30 Oktober 1629 Masehi anak Tumenggung Bahurekso yang bernama Raden Sulanjono, hasil pernikahan Tumenggung Bahurekso dengan Dewi Ayu Rantamsari, diangkat oleh Sultan Agung sebagai Adipati Pekalongan.

Sultan Agung memberi hadiah kepada Raden Sulanjono, yang pada tanggal 21 September 1629, bersama kakak tirinya yang bernama Raden Banteng Bahu –anak hasil pernikahan antara Tumenggung Bahurekso dengan Drupiksawati– berhasil menyusup ke dalam Benteng VOC di Batavia serta memenggal kepala JP. Coen –sang Gubernur Jenderal VOC, alias musuh bebuyutan Sultan Agung di Mataram.

Sebelum dilantik sebagai Adipati Pekalongan ke-3 di Ibukota Kerajaan Mataram, Raden Sulanjono singgah dulu di Padepokan Jimatan, milik Kakeknya, yang terletak di Tanah Perdikan Kesesi. Pada kesempatan itu pula Raden Sulanjono menyempatkan diri untuk bersemedi di sebuah bukit berbatu, yang di tengahnya tumbuh pohon bulu berukuran raksasa.

Bukit berbatu itu jika diamati mirip sebuah payung, yang mampu menaungi orang yang sedang bersemedi di bawahnya. Maka, di akhir semedinya itu Raden Sulanjono berpesan kepada para pengikutnya, agar nama Desa Rowowungu diganti dengan nama Desa Watupayung, sesuai dengan bukit berbatu tempat dia bersemedi, yang bentuknya menyerupai payung. Pergantian nama itu terjadi bertepatan dengan pelantikan Raden Sulanjono sebagai Adipati Pekalongan ke-3 oleh Sultan Agung di Ibukota Mataram pada tanggal 12 Rabiul Awal 1039 Hijriah atau 30 Oktober 1629 Masehi.

Demikianlah legenda asal-usul nama Desa Watupayung, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan.

(Edy v@n Keling, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Komisariat Kabupaten Pekalongan)


Jika kita gunakan sebutan CANDI GUNUNG WATU PAYUNG sebagai kata penyusun Candrasengkala akan kita dapatkan; Candi = 5; Gunung = 7; Watu = 7; Payung = 1. Untuk dapat menunjukkan angka tahun dibaca dari belakang ke depan sehingga ditemukan angka tahun 1775. Angka tahun ini di era Mataram Islam biasanya dikaitkan dengan Tahun Saka dalam hitungan sistem candra (bulan). Sedang untuk mendapatkan angka Tahun Masehi yang menggunakan sistem matahari perlu ditambahkan 78 tahun. Sehingga kita dapatkan 1775 +78 = 1853.

Sehingga dari candrasengkala CANDI GUNUNG WATU PAYUNG ini, bila diterjemahkan akan kita dapatkan angka tahun 1775 Saka atau 1853 Masehi. Maka dari perhitungan ini, untuk sementara bisa kita simpulkan bahwa istilah Candi Gunung Watu Payung mulai digunakan untuk menyebut wilayah ini diperkirakan sekitar tahun 1853 Masehi.

Jika diperdalam lagi, konversi tahun 1755 Saka = 1853 Masehi = 1269 Hijriah, 27 Selo (Legeno) = 27 Dulqaidah = 1 September. Jadi 27 Selo (Legeno) 1775 Saka = 27 Dzulqaidah 1269 Hijriah = 1 September 1853 Masehi. Adapun bulan Legeno atau Selo atau Dzul Qaidah adalah waktu untuk penyelenggaraan Sedekah Bumi.

(Agus Sulistiyo, Sekretaris Dewan Kesenian Kabupaten Pekalongan)   

BELI BUKU: